Yogyakarta, Buana Pers – Sekolah Advokasi yang diinisiasi oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Yogyakarta (PPMI DK YOGYAKARTA) dengan tagline “Jurnalisme Bebas Tanpa Represi” telah sukses dilaksanakan pada Minggu, (26/02/2023).

Represi sama dengan penekanan, pengekangan dan penindasan dimana hal tersebut juga masih banyak dialami oleh kawan-kawan jurnalis Persma. Mungkin dari situlah Persma Jogja terbesit mengadakan Sekolah Advokasi yang tentu saja menarik, terlebih mengingat terkait seberapa pentingkah jurnalis dibekali dengan advokasi. Seperti pendampingan atau semacam pembelaan diri terhadap jurnalis terkait isu yang sedang diangkatnya.

Dari segi perlindungan hukum, ternyata seorang jurnalis arus utama seperti Kompas, Tempo, dan lainnya dilindung oleh undang-undang kode etik jurnalis telah diatur dalam undang-undang pers, terlebih seorang jurnalis saat melakukan pekerjaan jurnalismenya yang ternaung disuatu perusahaan pers biasanya sudah ada pendampingan saat terjadi pengancaman, pencekalan, teror bahkan kekerasan baik verbal maupun non-verbal, rasa aman dalam bekerja sudah dijamin meskipun tidak sepenuhnya aman.

Sedangkan pers mahasiswa atau bisa kita sebut jurnalis kampus dapat diibaratkan seperti singa dalam kebun binatang yang geraknya terbatas. Jika dirasa mengancam sedikit saja, bisa langsung ditembak mati dan hilang. Bagaimana tidak, persma masih berstatus sebagai seorang mahasiswa yang bernaung didalam aturan-aturan kampus di mana setiap kampus memiliki perbedaan dalam pengaturannya. Setiap tantangan represi dari masing-masing kampus begitu kuat, perlindungan hukum yang diterima oleh persma pun tidak sekuat jurnalis arus utama. Sehingga perlunya dibekali bagaimana cara advokasi, minimal untuk diri sendiri terlebih untuk isu-isu yang sedang diangkat.

Dalam sekolah advokasi kemarin, Mas Yogi Zul Fadli pendiri Suarkala sebagai pemateri pertama banyak memberikan ilmu, pengalaman, dan strategi dalam pengadvokasian. Mas Yogi menerangkan bahwa advokasi dengan pendekatan bantuan hukum sturktural sebagai metode alternatif gerakan yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat orang yang tertindas. Beberapa langkah dari cara meng-advokasi yang diberikan Mas Yogi kurang lebih sebagai berikut :

1. Analisis Swot, analisis terlebih dahulu kekuatan dan kelemahan ketika ingin mengangkat suatu isu.

2. Analisis aktor atau pemangku kebijakan yang berkaitan dengan isu tersebut.

3. Tentukan lingkar inti advokasi yang bertugas sebagai siapa penggagas, siapa penggerak serta pengendali arah strategi advokasinya siapa.

4. Atur taktik gerakannyan bisa dengan kampanye online maupun offline, bangun jaringan, pembekalan pendidikan dsb.

Dalam kegiatan sekolah advokasi tersebut, hadir pula Mbak Sintha Maharani dari AJI Yogyakarta sebagai pemateri kedua yang juga tak kurang dalam membagikan pengalamannya Ketika mendapatkan kekerasan saat sedang melakukan peliputan. Mbak Sintha bercerita bahwa jurnalis perempuan lebih rentan mendapatkan kekerasan saat melakukan aktivitas jurnalismenya, merujuk pada riset AJI Indonesia bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA), Mbak Sintha pun mendorong persma untuk melakukan mitigasi dengan membentuk semacam SOP saat peliputan dan saat terjadinya kekerasan pada jurnalisnya.

Hal ini sangat diperlukan agar mengurangi risiko terjadinya kekerasan pada Jurnalis terutama persma. Materi terakhir disampaikan oleh Adil Al Hasan dari BP Advokasi PPMI Nasional, Mas Adil menyodorkan data bukti bahwa represi terhadap LPM mengalami peningkatan 127 kasus dari periode 2017/2019 ke 2020/2021. Bentuk dari represi yang paling banyak ialah teguran. Pelaku paling banyak yang melakukan represi terhadap presma adalah birokrasi kampus sendiri yang mana kampus adalah tempat bernaung LPM, begitulah pentingnya Sekolah Advokasi bagi jurnalis persma karena musuh kita sangat dekat.

Penulis : Ridwan Maulana

Dokumentasi : PPMI DK YOGYAKARTA

Penyunting : Nanda Kesya Pramesty

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *