Yogyakarta, Buana Pers – Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menggelar Konsolidasi terkait isi Raperda Pendidikan DIY yang berpotensi melegalkan pungutan liar.
Konsolidasi yang digelar pada Jumat (03/03/2023) ini menolak isi Raperda yang memasukkan masyarakat sebagai salah satu unsur yang harus membiayai pendidikan melalui “pungutan”. Hal tersebut dinilai akan menyulitkan akses pendidikan bagi masyarakat miskin.
“Kami menentang pungutan itu tentunya lumrah saja, kita punya negara, punya APBN kenapa mesti dipungut biaya lagi, dan konstitusi sudah mengatakan; bahwasanya pendidikan itu harus bisa diakses oleh seluruh warga negara,” ujar Melki selaku anggota Social Movement Institute saat menjabarkan ketidakselarasan negara akan pendidikan.
Melki menambahkan pun jika ada pungutan untuk pendidikan, seharusnya aturan tersebut mempertimbangkan aspek ekonomi dan jika ada masyarakat yang tidak bisa sekolah karena alasan ekonomi berarti negara sudah melanggar. Negara tidak mampu memberikan pendidikan yang murah atau gratis untuk masyarakat.
Pada gelaran konsolidasi yang dimulai pukul 13.30 WIB di kantor LBH tersebut, juga turut dihadiri perwakilan orang tua murid yang menyuarakan protes terkait masalah dunia Pendidikan.
“Saya berharap pemerintah mau peduli terhadap nasib pendidikan masyarakatnya. Jogjakarta itu adalah provinsi termiskin di Jawa, dan kabupaten termiskin itu adalah kabupaten saya Kulon Progo. Di kulon Progo nyaris tidak ada sumber daya apa pun yang bisa meningkatkan orang miskin menjadi kaya. Jalan satu-satunya yang paling efektif adalah pendidikan. Jogja yang notebenenya banyak masyarakat miskin, tapi orang miskin dipaksa membayar sangat mahal demi Pendidikan, bukankah jogja kota pelajar. Apa lagi jika pungutan liar dilegalkan,” pungkas Agung selaku orang tua murid yang berasal dari Kulon Progo.
Konsolidasi ini tidak hanya menyoroti insititusi pendidikan negeri saja, menurut salah satu peserta konsol menyatakan bahwa institusi pendidikan swasta juga tidak boleh menutup mata hanya karena tidak dibiayai negara.
“Lalu kemudian kaitannya dengan sekolah swasta itu kan ada yayasan, lalu hanya karena ini, bukan berarti segala beban harus dibebankan kepada orang tua semua. Harus ada bagian-bagian usaha yang bisa mendukung akses pendidikan, dan kalau yayasan tidak mampu, ya bubarkan saja,” ujar Melki
“Apakah Raperda ini mau dijadikan master plan untuk dunia Pendidikan Indonesia? Pasti dicontoh oleh provinsi lainnya, karena Yogyakarta ini mercusuar Pendidikan. Jika memang alasan pemerintah itu kekurangan dana untuk disalurkan ke pendidikan, logikanya seperti ini; di sekolah favorit itu mereka mendapatkan biaya pendidikan dari BOS, baik BOS pusat maupun daerah. Lalu perhitungan BOS dari mana? Dari jumlah murid yang ada! Sekolah favorit muridnya pasti full. Artinya BOS yang mereka dapatkan itu maksimal. Sementara sekolah yang tidak favorit otomatis dana BOS-nya tidak maksimal, karena jumlah murid tidak terpenuhi. Sekarang realisasinya; sekolah favorit yang dana BOS-nya maksimal tetap melakukan pugutan, kenapa itu terjadi? Bukankah dana BOS-nya terpenuhi, itu artinya mereka melakukan pungutan bukan karena kekurangan dana BOS,” pungkas Agung.
Selama konsolidasi berlangsung, peserta yang hadir mengemukakan bahwa aturan ideal yang ingin ditetapkan pemerintah tidak pernah sesuai dengan realita lapangan.
“Sekarang kan tidak ada yang boleh melakukan pungutan dan aturannya tidak boleh ada pungutan, kecuali Raperda disahkan. Realitanya ada sekolah yang mewajibkan ada sumbangan, sumbangan dan pungutan itu berbeda, kalau sumbangan itu sukarela, tapi pungutan itu ditentukan jumlah uangnya, tenggat waktunya, dan tidak mempedulikan orang tuanya itu miskin atau kaya. Begitulah realita Pendidikan Indonesia yang terjadi sekarang. Jika Raperda disahkan, otomatis pungutan uang akan semakin merajalela, jika tidak ada aturan yang memperbolehkan saja masih banyak yang melakukannya,” demikian yang disampaikan Agung saat diwawancara.
Reporter dan Penulis : Rizky Fajar
Penyunting : Alan Dwi Arianto
Sumber Foto : Dokumentasi LBH