Buana Pers, Yogyakarta– Terus tumbuh dan melawan adalah slogan yang digaungkan Paguyuban Petani Lahan Kulon Progo (PPLP-KP) dalam rangka memperingati hari lahirnya PPL-KP yang ke-17 pada Minggu, 7 Mei, 2023.
Acara yang berlangsung dari 6-7 Mei 2023 tersebut turut dihadiri ribuan orang dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satu masyarakat yang berasal dari luar daerah Yogyakarta menuturkan bahwa mereka terinspirasi dengan perjuangan masyarakat Kulon Progo yang mampu menyatukan pemahaman dan kompak untuk terus melawan perampasan lahan.
Kalimat tersebut muncul imbas adanya rasa senasib sepenanggungan yang mereka rasakan selama ini.
Beberapa masyarakat tersebut diantaranya: perwakilan forum Bandung, perwakilan forum Tangerang, perwakilan forum Jakarta, perwakilan forum Wadas Purwerojo, perwakilan forum warga Pakel, forum Tumpang Pitu Banyuwangi, Pesisir Parangtritis, serta mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta.
Sederet rangkaian acara yang diadakan selama 2 hari itu meliputi 4 kegiatan, yakni pemutaran film Mujahaddah, pengajian, Arak-arakan gunungan, ikrar syawalan, dan orasi perjuangan, serta musik solidaritas.
Didalamnya turut hadir penampilan musik solidaritas dari para musisi yang sering kali mengangkat realita sosial dalam lagu-lagu ciptaannya, seperti; Syfasativa dan Tanasaghara.
Dinamika Perjuangan PPLP-KP
Eko Prianto selaku warga PPLP-KP mengatakan bahwa perjuangan ini berawal dari 1 April 2006. Dalam perjuangan tersebut PPLP-KP tidak pernah menang secara legal formal, tapi secara teknis lapangan PPLP-KP menang.
“Hukum boleh tidak kami menangkan, tetapi kami masih bisa menamam untuk kehidupan masyarakat di sini,” kata Eko Priantono MInggu, 7 Mei 2023.
Lebih lanjut Ia menerangkan hari lahir PPLP-KP ini tidak pernah dikultuskan harus dirayakan hari apa, mengingat ada kawan-kawan yang masih duduk di bangku sekolah dan kuliah.
“Kami sengaja merayakannya di hari minggu, supaya kawan-kawan yang masih di bangku sekolah dan kuliah bisa ikut berpartisipasi,” imbuhnya.
Beberapa bulan sebelum perayaan hari lahir PPLP-KP diselenggarakan, Eko Prianto mengatakan bahwa beberapa lurah di wilayah pesisir justru malah mendukung sertifikasi tanah yang ingin dilakukan oleh pihak Pakualaman Ground, namun warga sepakat untuk menolak tindakan tersebut.
“Tapi kami menolak, dan katanya ide itu muncul dari lurah, berkaca dari pengalaman yang lalu, pendataan semacam sertifikasi itu membuat kami kalah atas hak tanah kami sendiri, selama ini lurah-lurah itu gak berpihak ke masyarakat,” imbuh Eko.
Dari Tanah Gersang menjadi Subur
Masyarakat Kulon Progo tidak serta merta tiba-tiba menolak atas adanya tambang pasir besi, melainkan ada alasan dibalik perjuangan tersebut. Dalam penuturannya, Didi selaku masyarakat PPLP-KP menerangkan bahwa kakek nenek sebelum mereka telah berjuang dari tahun 80-an untuk menanami tanah gersang ini hingga bisa menghasilkan berbagai jenis tanaman yang mensejahtrakan masyarakat.
Kemudian Ia menjelaskan filosofi arak-arakan yang membawa hasil bumi yang bermakna; Yang paling tinggi adalah padi, padi adalah simbol kesejahteraan masyarakat, kedua cabe, karena cabe adalah tanaman pertama yang berhasil ditanam di tanah gersang ini.
“Kami merasa terancam dengan adanya tambang pasir besi, lalu kami bersatu untuk melakukan penolakan pasir besi, tapi kami tidak hanya menolak pasir besi, kami menolak segala jenis perampasan lahan di Indonesia, tanah pesisir adalah ruang hidup kami, sahabat kami, jadi kalau itu dirusak, otomatis hidup kami juga dirusak,”ucap Didi.
Reporter dan Penulis : Rizky Fajar NA
Editor : Alan Dwi Arianto
Dokumentasi : Ade Rifqi Dian M