Toraja, Buana Pers – Rambu Solo’ merupakan salah satu upacara adat yang ada di Toraja, Sulawesi Selatan. Upacara ini diadakan sebagai salah satu seremonial penghormatan terakhir kepada almarhum yang sudah meninggal dan dilakukan oleh keluarga mendiang sebagai tradisi turun temurun yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Ma’ Rambu Solo’ ini merupakan sebuah upacara kematian yang dilaksanakan secara turun temurun ketika ada seseorang dari anggota keluarga yang meninggal. Tujuan dari rambu solo’ ini adalah untuk menghormati dan menghantar manusia yang telah meninggal ke alam roh dengan tenang. Dalam melaksanakan upacara ini biasanya memakan waktu yang sangat lama.
“Orang yang meninggal sebelum dilaksanakan upacara ini tidak boleh dikubur dulu, mereka itu dibungkus atau diawetkan karena untuk melaksanakan upacara rambu solo’ bisa sangat lama sampai bertahun-tahun,” kata Rudi salah satu masyarakat Toraja, Desa Mendelo.
Ketika mayat tersebut telah dibungkus mereka akan ditinggal di dalam rumah sampai upacara rambu solo’ ini dilaksanakan. Berdasarkan keterangan warga Bori’ Toraja Utara bahwa Upacara ini dilaksanakan 2 sampai 3 hari, berbeda lagi ketika dari kalangan bangsawan atau orang kaya bisa dilaksanakan sampai 2 minggu dan upacara Ma Rambu Solo’ ini diadakan di kediaman anggota yang meninggal.
Simbol dalam upacara Ma Rambu Solo
Simbol dalam upacara ini yang paling kelihatan adalah ma’tinggoro tedong atau dikenal dengan penyembelihan kerbau dan babi. Penyembelihan kerbau dan babi dilakukan sebagai kurban bagi orang yang sudah meninggal.
Proses Pelaksanaan Upacara Ma Rambu Solo
Dalam adat toraja ketika seseorang meninggal mereka akan dibungkus terlebih dahulu untuk kalangan bukan bangsawan akan dilakukan pada saat itu juga, tetapi untuk kalangan bangsawan dilakukan besok harinya hal ini dinamakan dengan “Ma’putu”. “Dalam tradisi ini pertama harus ada pertemuan antar keluarga dalam menentukan kapan waktu terbaik melaksanakan upacara rambu solo setelah itu ada pembuatan lantang (Pondok kayu) yang disediakan untuk tamu atau kerabat yang datang ke upacara rambu solo’ tersebut, kemudian dibantu oleh masyarakat setempat menyediakan peralatan upacara. Setelah itu ada penyediaan kurban hewan yaitu kerbau dan babi dari anggota keluarga. Penyediaan kurban hewan ini selain disediakan oleh anggota keluarga ada juga masyarakat toraja biasanya saling memberi hewan kurban alasannya karena “pa’uaimata” sebagai tanda kasih kepada keluarga yang ditinggalkan dan bisa juga “takean suru” yaitu mengembalikan kembali dimasa lalu”. Ungkap ibu Arun salah satu tokoh masyarakat di desa Bori’.
Proses pelaksanan rambu solo’ selanjutnya dilakukan dengan menempatkan mayat ke lakkiang. Lakkiang ini sendiri merupakan tempat diletakkannya mayat ketika upacara dilaksanakan, setelah itu melaksanakan ma’riu batu, ma parokko allang, (kebaktian atau kita sebut ibadah) dan juga ma’badong yang merupakan nyanyian berupa syair khusus untuk orang meninggal. Biasanya dilakukan oleh sekelompok laki-laki dengan membuat lingkaran, kemudian tradisi mentunu tedong dan ma’pasilaga tedong yaitu kerbau yang akan diadu hal dilakukan sebagai hiburan untuk tamu yang datang.
Selain itu, ada juga pantariman tamu (penyambutan tamu). Kemudian di akhir upacara atau hari terakhir upacara rambu solo’ mayat akan diantar ke kuburan khusus orang Toraja yang disebut dengan Patane dan dalam penghantaran mayat tersebut mayat akan diarak keliling terlebih dahulu sebelum dikuburkan.
Nilai-nilai dalam Upacara Ma Rambu Solo
Masyarakat Toraja dikenal sebagai masyarakat yang gemar saling membantu ketika mengadakan upacara rambu solo’. Hal ini karena biasanya masyarakat akan berbondong-bondong berdatangan membantu dari menyediakan material pembuatan lantang (pondok), masak dan beberapa kegiatan untuk persiapan upacara dilaksanakan. Selain itu, upacara rambu solo’ ini juga melakukan pembagian daging-daging kepada masyarakat setempat, karena upacara ini juga dianggap saling berbagi berkat kepada sesama.
“Tidak peduli dari kalangan manapun bisa menikmati santapan yang disediakan oleh anggota keluarga yang ditinggalkan. Nilai yang terkandung dalam upacara rambu solo’ ini adalah gotong royong karena masyarakatnya yang saling membantu dan saling mengasihi” Pungkas ibu Arun selaku warga desa Mendelo Bori’.”
Penulis : Marischa
Editor : Alan Dwi Arianto
Sumber Foto : Marischa