Sedang gempar suara-suara di media sosial mengenai pendidikan yang dikomersilkan, terkhusus pada beberapa kampus negeri di Yogyakarta bahkan sampai diangkat oleh beberapa media seperti Mojok, Kompas, dan lain-lain. Saat ini perkuliahan di beberapa kampus juga sedang memasuki masa libur semester, namun tak berarti mahasiswa bisa seenaknya liburan. Para mahasiswa masih tidak terlepas untuk tetap memikirkan biaya dan nasib kuliahnya nanti pada saat perkuliahan mulai aktif kembali.

Hal ini memang terdengar seperti lagu lama yang dinyanyikan kembali, selalu melulu persoalan keuangan yang menjadikan penghalang mahasiswa tak bisa melanjutkan perkuliahannya. Banyak sekali syarat keuangan yang harus terbayarkan oleh mahasiswa agar bisa melanjutkan perkuliahan disemester depan. Sama halnya dengan kampus negeri di Yogyakarta, kampus saya pun sama lokasinya dengan UGM dan UNY yaitu berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang secara terang benerang memilih “mengkomersilkan Pendidikan”.

Seperti barang yang dijual di Alfamart, harga sudah jelas tertera dan tidak bisa ditawar. Kalau mau membawa pulang barangnya harus bayar ke kasir dengan harga yang telah ditetapkan, syukur-syukur kembaliannya mau sekalian didonasikan.

Pun begitu dengan kampus saya. Mahasiswa tidak diberikan sedikit kelonggaran mengenai biaya perkuliahan, tidak boleh ditawar dan tidak boleh mengelak dengan jadwal pembayaran yang telah ditetapkan. Kalau mahasiswa tidak mampu membayar perkuliahan, silakan ambil cuti dan segera cari uang untuk membayar kuliah!.

Sebenarnya kampus sudah mencoba memberikan solusi seperti berkerjasama dengan Danacita sebuah platfrom yang sudi meminjamkan uangnya kepada mahasiswa untuk membayar kuliah. Namun, alih-alih meringankan mahasiswa untuk bisa melanjutkan kuliah, yang ada justru menambah beban keuangan mahasiswa karena solusi tersebut (Danacita) terdapat bunga pinjaman yang wajib dibayarkan juga. Kampus justru terlihat sekali ingin lepas tangan dari permasalahan keuangan mahasiswa, seakan terserah mahasiswa akan mendapat resiko seperti apa untuk memperoleh uang, yang terpenting dana masuk ke kampus lancar dan deras sesuai jadwal. Sadis!!

Masalah keuangan pun sangat berpengaruh besar pada nilai akademik sehingga menyebabkan banyak mahasiswa yang tidak bisa keluar nilainya, tidak bisa ikut ujian karena belum membayar atau telat membayar uang tagihan kuliah dan untuk mengabsahkan bahwa kampus ingin sekali mengkomersilkan pendidikan ialah setiap mahasiswa yang tidak bisa membayar atau telat melunasi tagihan namun ingin mengikuti ujian bisa melakukan pendaftaran ujian ulang dengan syarat bayar lagi! Gendeng Poll.

Sudah jatuh sekalian saja ditimbun ke tanah”, mungkin itu yang ingin dilakukan kampus. Jelas bahwa mahasiswa yang tidak bisa ikut ujian itu dikarenakan oleh terkendalanya keuangan, tapi bukannya diperingan supaya bisa segera mengikuti ujian, justru malah ditambahkan beban tagihan keuangannya. Kampus punya jurus sakti mandra guna “Jika tak bisa bayar kuliah silahkan pinjol atau cuti saja! siapa suruh miskin”.

Memang harus diakui “Kampus Tercinta” juga perlu uang untuk bisa tetap beroperasi layaknya perusahaan minimal gaji dosen dan staf tetap aman terbayarkan dan pembangunan tetap ada agar gedung kampus terlihat semakin elok dan megah. Namun, mengapa kampus juga enggan menunjukan laporan keuangannya secara terbuka kepada mahasiswanya agar sesama pengguna fasilitas kampus bisa tahu dan merasakan apa yang menjadi permasalahan kampus hingga kampus terlihat memilih “mengkomersilkan pendidikan”.

Kampus terlihat begitu mengabaikan keluh kesah dari mahasiswa seakan hal itu bisa segera berlalu tanpa ada penggaruhnya. Tapi benar juga. Memang mahasiswa tidak ada pengaruhnya untuk kampus. Karena jika mahasiswa gagal bayar, kampus tinggal cari lagi mahasiswa baru dengan segala iming-iming dan foto-foto gedung yang megah. Lalu, bagaimana dengan mahasiswanya yang gagal bayar dan tak bisa melanjutkan pendidikannya? ternyata benar kesuksesan tidak di tentukan dengan tingginya “Pendidikan” seseorang dan wajar juga Kampus butuh uang karena sudah umumnya Kampus Swasta memeras Mahasiswanya.

Penulis : Ridwan Maulana

Editor : Nanda Kesya P