Perbincangan mengenai seks itu masih dianggap tabu, bahkan sampai sekarang. Padahal wakil ketua Komnas HAM Siti Noor Laila berpendapat pendidikan seks dinilai penting agar tahu mana sentuhan yang wajar dan yang melecehkan.

Sebelum membaca lebih lanjut, alangkah baiknya jika saudara dan saudari sekalian yang menganggap diskusi seks itu tabu, dimohon untuk segera meninggalkan laman ini. Disclaimer, tulisan ini tidak mengajak pembaca untuk melakukan seks bebas, melainkan untuk mengenali alasan-alasan dibalik perilaku seks bebas.

Saya bertemu Rabiah (bukan nama sebenarnya) salah satu mahasiswa kampus negeri di Jogja yang pernah merasakan pahitnya dunia, bahkan sebelum Ia paham bahwa dunia ini begitu kejam. Usianya baru saja menginjak 5 tahun, namun sudah merasakan hal paling pahit dalam hidupnya. Anak sekecil itu mengalami pelecehan seksual, hal tersebut adalah pengalaman paling traumatis dalam hidupnya.

“Kalau secara sukarela itu waktu umur 16 tahun kelas 1 SMA, tapi kalau tidak secara sukarela itu umur 5 tahun. Saya pernah menjadi korban pelecehan seksual dan pelakunya itu adalah tetangga saya sendiri”.

Dari kejadian itu Rabiah mengaku bahwa efek yang trauma yang ditinggalkannya sangat membekas, bahkan sampai belasan tahun.

“Jujur, aku baru bisa berdamai dan menertawakan kejadian itu mungkin 3 tahun terakhir ini,” ujarnya, mengingat hubungan seks secara tidak sukarela yang Ia alami saat itu. “Ah lagi pula tanda kita sudah berdamai itu kan dengan cara menertawakannya,” sambungnya, sambil tertawa menirukan paman Coki.

Kini, setelah Rabiah bisa berdamai dengan traumatisnya, Ia menggangap hubungan seks bebas itu cukup penting jika dilakukan dengan pasangan, apa lagi jika love language-nya psyichal touch.

Kalau memang ada feelings kebutuhan, misalnya untuk ngilangin stress, meredam emosi, menunjukan kasih sayang dan sudah ada komitmen yang jelas, why not? Yang penting didasari cinta supaya gak sia-sia dan harus ada tanggung jawab satu sama lain. Ini pendapatku tanpa memakai unsur agama ya hehe”.

Sementara itu, kisah sedikit berbeda disampaikan Andre (bukan nama sebenarnya). Pria 23 tahun yang bekerja sebagai aparat di kota Jogja, bisa dibilang jam terbangnya sudah cukup jauh dalam mecicipi dunia kupu-kupu malam. Bahkan kisahnya sendiri dimulai dari ranjang selingkuhannya.

“Pertama kali melepas perjaka tuh ketika SMA kelas 11 dengan selingkuhan”.

Menurut Andre hubungan seks bebas itu sungguh nikmat, tidak ada ikatan yang harus dijaga, belum ada kewajiban moral juga untuk menjaga hati istri.

“Jadi hubungan seks diluar nikah tuh enak, saya bisa mencoba segala kepuasan seksual dengan berganti-ganti orang”.

Sampai saat ini Andre mengaku masih aktif melakukan hubungan seks bebas dan berpegang teguh dengan apa yang Ia yakini.

“Seks itu sangat penting, karena menurut saya kita tuh harus mengeluarkan sperma dan memenuhi hawa nafsu itu. Apa lagi jika pasangan kita juga mempunyai hasrat seksual yang tinggi, yaudah kita puasin saja,” pungkasnya dengan tertawa cengengesan.

Selain Rabiah dan Andre, saya juga menemui mahasiswi dari kampus swasta Jogja, Azalea (bukan nama sebenarnya). Pertama kali Azalea melakukan hubungan seks itu karena dipaksa oleh pacarnya. Ia mengaku saat itu masih tidak tahu apa-apa, bahkan untuk mengatakan “tidak” pun Ia tidak bisa.

“Tapi berbeda dengan aku yang sekarang, I can say no, aku gak mau kalau tidak ada consent,”ujarnya, dengan raut muka kesal ketika mengingat pengalaman terpaksanya memenuhi keinginan pacarnya itu. “Meskipun aku cukup hyper seks, Aku tidak akan melakukan itu tanpa consent, because I respect the decision”.

Menurut Azalea, baginya seks bebas bersama pasangan itu bersifat sekunder, karena yang paling penting menurutnya adalah komunikasi. Ia mempunyai perspektif bahwa ketika pacaran ‘kalau mau melakukan hubungan seks itu tidak apa-apa, selama kedua belah pihak mau dan suka’.

Berbeda dengan Andre yang menghendaki seks sebebas mungkin tidak terbatas dengan pasangan, Rabiah dan Azalea teguh menolak jika hubungan seks hanya boleh dilakukan dengan pasangan.

“Kalau FWB aku gak suka, karena itu kan sesuatu yang tidak mengikat, tapi kenapa harus ada status yang mengatakan itu FWB. Intinya kalau memang mau melakukan seks bebas entah itu karena suka atau khilaf, yaudah silakan, tapi gak usah dikategorikan itu sebagai FWB, gak suka aku. Karena menurutku jika sebuah hubungan tidak ada komitmen, ya gak perlu dikasih kategori hubungan,” ujar Rabiah.

 “kalau misalnya pacaran, itu terserah mereka mau melakukan itu atau nggak, selama kedua belah pihak mau dan suka, itu gak masalah. Tapi kalau menurutku terkait FWB, apa lagi selingkuh, aku gak suka. Karena itu gak ada hubungan apa-apa sama sekali, itu tuh cuman pertemanan tapi memiliki benefit dan menurutku itu kurang sreg aja. Kalau pacaran kan udah ada ikatan batin kan, walaupun belum menikah, tapi masih bisa dipertimbangkan. Jadi seks bebas menurutku gapapa kalau itu pacaran tapi kalau FWB mending jangan,”ujar Azalea.

Faktor & Dampak Seks Bebas

Tidak ada faktor tunggal mengenai alasan dibalik terjadinya perilaku seks bebas, tidak sesederhana karena pelaku tidak dekat dengan Tuhan. Jangan kambing hitamkan Tuhan, bukankah banyak pemangku agama yang memperkosa jemaatnya Maka dari itu, dalam hal ini saya mewawancarai Kondang Buidyani, MA.,Psikolog selaku dosen di Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

“Penyebabnya banyak : nilai agama/norma yg tidak kuat, melihat video/tayangan pornografi, ajakan teman, kondisi biologis/kebutuhan seks, pergaulan yg bebas dan berdekatan dengan lawan jenis jadi mudah terstimulasi,” tulis Kondang Budiyani via WhatsApp.

Pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Boyke Dian Nugraha dalam seminarnya menjelaskan bahwa dari sisi kesehatan, perilaku seks bebas bisa menimbulkan berbabgai gangguan. Diantaranya kehamilan yang tidak diinginkan dan kecenderungan aborsi.

“Dampak perilaku seks bebas diantaranya : kehamilan yang mengakibatkan tergangunya proses belajar di sekolah, menggugurkan kandungan yang bisa berdampak ke kematian, rentan terkenan penyakit kelamin seperti HIV jika dilakukan dengan gonta-ganti pasangan,” tutur Kondang Budiyani.

Penulis             : Riski Fajar N.A.

Editor              : Alan Dwi Arianto

Sumber Foto : Pinterest