Baru-baru ini dunia Twitter dihebohkan oleh berita terkait tanggapan influencer muda terkenal yang sudah lama tinggal di German, siapa lagi kalau bukan Gita Savitri Devi. Wanita muda yang kerap disapa Gitasav itu lahir di Palembang pada tanggal 27 Juli 1992, ia menempuh studinya di Berlin sejak tahun 2010. Ia menetap di Jerman untuk menyelesaikan studi Kimia Murni di Freire University, Berlin. Dan pada tahun 2018 ia menikah dengan seorang teman kuliahnya yaitu Paul Andre Partohap.
Pada awalnya, sosok Gita ini banyak diidolakan para remaja karena dianggap banyak menyebarkan konten-konten inspiratif terkait scholarship, kehidupan Jerman dan kebudayaannya, kecantikan, cover lagu dan masih banyak lagi melalui channel youtube, blog, dan medsos miliknya. Selain itu, dalam channel youtube-nya ia juga sering membahas isu-isu terkini khususnya terkait feminisme. Dan banyak sekali yang setuju terkait pemikiranpemikiran Gita yang dianggap open-minded tersebut.
Namun semuanya menimbulkan kontradiksi sejak Gita mengupload video yang berkaitan dengan Childfree. Banyak masyarakat yang seakan kecewa dengan pemikiran Gita terkait childfree yang dianggap pernyataan itu bisa mentrigger orang lain untuk memiliki keputusan yang egois dan bisa jadi melenceng dari ajaran agama. Banyak netizen yang pada akhirnya berfikir bahwa pandangan Gita sudah menuju ke arah liberal.
Dan baru-baru ini Gita semakin menjadi kontroversial hingga meramaikan jagat maya karena tanggapan dan statemennya terkait pose timnas Jerman yang membungkam mulut. Seolaholah menandakan bahwa mereka sedang dibungkam oleh FIFA dan kebijakan Qatar terkait LGBT. Dalam unggahan story instagram Gita terlihat memberikan tanggapan dari pertanyaan salah satu pengikutnya di question box, dimana ia menanyakan tanggapan Gita terkait foto timnas Jerman yang berpose tutup mulut. Lalu, Gita membalas pertanyaan tersebut dengan kalimat :
‘di satu sisi kaya virtue signaling ya..kaya, can you do something more than that ? disisi lain, LGBTQ-phobia has real life consequences. People lost their lives due to their gender & sexuality so it’s better than not saying anything at all. FIFA is corrupt and Qatar justifying homophobia by using “this is our culture” is big no’.
Jadi, dalam balasan tersebut Gita tampak mengungkapkan bahwa LGBTQ-phobia memiliki konsekuensi dalam kehidupan nyata bahkan sampai kehilangan nyawa dikarenakan gender dan seksualitas, sehingga ia merasa tindakan timnas Jerman lebih baik daripada tidak melakukan apapun. Ia juga merasa bahwa FIFA dan Qatar telah menormalisasi homophobia dengan dalih itu bukanlah kebudayaan Qatar. Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyataannya tersebut mengundang pro dan kontra dari berbagai lingkup masyarakat. Sehingga nama Gita Savitri menduduki peringkat satu trending di twitter untuk beberapa hari terakhir.
Melihat hal tersebut, Gita lalu membuat video balasan untuk menanggapi terkait hal yang membuat dirinya menjadi buah bibir masyarakat di negerinya. Melalui channel youtube miliknya, ia merasa bahwa muslim juga sudah menggunakan alat yang sama untuk mendeskriminasikan suatu kelompok lain. Menurutnya dengan Qatar mengatakan ‘this is our culture’ itu artinya ia sama saja menganggap bahwa LGBT adalah budaya Barat, dan itu merupakan sebuah deskriminasi seperti halnya orang-orang Barat melarang orang muslim memakai hijab hanya karena ‘hijab bukanlah budaya Barat’. Gita merasa bahwa hal itulah yang ia sebut dengan ‘same tool’ untuk mendeskriminasikan suatu kelompok. Ia juga mengungkapkan bahwa dia tidak perlu respect dengan culture yang mendeskriminasi orang lain dan itu ia lihat bukan sebagai culture, melainkan kebencian kepada suatu kelompok yang baginya merupakan sebuah kejahatan.
Banyak pihak yang memiliki pemikiran yang sama dengan Gita bahwa LGBTQ juga memiliki hak yang sama seperti kelompok seksual lainnya. Sehingga dengan memberikan penolakan terkait LGBT itu sama dengan melanggar hak yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Terlebih FIFA merupakan acara yang konteksya menyeluruh bukan hanya satu kelompok saja, sehingga sangat disayangkan apabila Qatar menerapkan kebijakan tersebut hanya karena ia memegang prinsip bahwa itu bukan budaya mereka. Bahkan dikabarkan ada beberapa negara yang akan memutuskan untuk keluar dari FIFA karena aturan yang tidak masuk akal tersebut.
Namun di sisi lain, pihak-pihak yang menentang keras pemikiran Gita pun memiliki alasan yang juga beragam. Bagi mereka, LGBT merupakan penyimpangan diajaran manapun sehingga memberikan ruang kepada LGBT sama halnya dengan menormalisasikan LGBT itu sendiri. Mereka juga menganggap bahwa dengan adanya kebijakan yang Qatar berikan, itu akan membuat manusia dapat kembali menilai mana yang dapat ditoleransi dan mana yang tidak. Adapun tujuan Qatar menerapkan peraturan itu di FIFA yaitu untuk memperkenalkan bahwa islam adalah agama yang mampu menerima perbedaan dan jauh dari gambaran muslim teroris yang seperti bangsa Barat kenal.
Terlepas dari pro dan kontra masyarakat menanggapi hal tersebut, perlu kita tahu bahwa
Qatar merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama islam. Negara tersebut juga sudah membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dengan syariat islam jauh sebelum ia menjadi tuan rumah piala dunia 2022 ini. Menurut saya inilah yang mungkin bukan suatu hal yang salah jika Qatar menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut pada pelaksanaan piala dunia 2022. Karena seperti peribahasa yang kita tau bahwa ‘Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung’. Sehingga sebagai tamu, tidak ada salahnya jika kita sebisa mungkin menghormati adat tuan rumah. Termasuk menghormati peraturan terkait larangan menggunakan atribut LGBT disana.
Bahkan seperti yang kita tahu bahwa tidak ada satu pun ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk masuk ke ranah tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahwa memang LGBT merupakan tindakan yang jelas menyimpang dari ajaran manapun. Namun yang perlu kita pahami yaitu hak-hak mereka sebagai individu itu sama seperti kita. Mereka juga manusia yang memiliki hak untuk bertahan hidup, berinteraksi dan kebebasan. Sehingga tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk saling merangkul tanpa membedakan dari mana mereka berasal dan dari kelompok apa mereka itu. Saling merangkul di sini bukan berarti menormalisasikan LGBT di masyarakat. Namun lebih kepada sikap menghargai sesama dan memandangnya murni sebagai individu.
Wajar bagi kita memiliki opini pro dan kontra terhadap suatu pemikiran atau pandangan. Namun bukan berarti hal tersebut menjadikan kita sebagai kelompok-kelompok yang keras sehingga saling menyalahkan. Perbedaan pandangan adalah hal yang akan selalu berdampingan dengan kita, karena kita berada pada masyarakat yang heterogen. Itulah mengapa kita harus menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi serta ketika kita dihadapkan pada suatu masalah, sebisa mungkin kita berfokus pada permasalahannya bukan pada personal seseorang.
Penulis : Nanda Kesya Pramesty
Editor : Nanda Kesya Pramesty
Sumber foto :