Siaran berita beberapa pekan terakhir tidak luput dari berita mengenai kasus KDRT pasangan artis ternama di Indonesia. Yang membuat kasus ini tambah menghebohkan adalah fakta bahwa setelah pihak pelaku yang melakukan kekerasan telah ditetapkan sebagai tersangka, pihak korban menarik kembali laporannya.

Dalihnya bahwa si pelaku sudah berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Padahal, orang yang melakukan tindak kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, tidak menutup kemungkinan akan mengulangi perbuatannya. Dengan kata lain, korban akan terus terancam terjebak dalam hubungan yang tidak sehat. 

Salah satu dari sekian banyak ciri yang terlihat dalam orang yang terlibat dalam sebuah toxic relationship adalah kecenderungan untuk tetap bertahan, meskipun sudah banyak melihat tanda-tanda peringatan (warning signs). Padahal, sudah tahu buruk buat diri sendiri dan sudah banyak tersakiti, tapi kenapa masih dipertahankan?

Penyebab peristiwa tadi bisa jadi disebabkan melalui sudut pandang sunk cost fallacy, yaitu suatu situasi seseorang yang terlalu berfokus kepada waktu, uang, atau keterlibatan emosional yang telah mereka berikan sehingga tidak mau meninggalkan hal tersebut.

Contohnya adalah seseorang yang terus menerus mengeluarkan modal yang banyak pada suatu bisnis yang terus merugi, tapi tidak mau berhenti karena merasa sudah mengeluarkan uang yang banyak untuk itu. Padahal jika berhenti, seseorang akan mengalami kerugian yang lebih sedikit dan mendapatkan lebih banyak manfaat. Contoh lainnya adalah seseorang akan lebih susah untuk meninggalkan hubungan yang sudah berjalan selama 6 tahun, dibandingkan meninggalkan hubungan yang baru berjalan selama 3 bulan. 

Logikanya, kita tidak akan “berinvestasi” pada hal-hal yang merugikan dan menyakiti kita. Kita tidak akan mau bertahan di hubungan yang tidak membuat kita bahagia. Kita tidak akan mau berteman dengan orang yang mengeksploitasi uang dan tenaga kita. Kita tidak akan mau bertahan di jurusan yang jelas-jelas bukan minat kita. 

Namun pada kenyataannya, banyak yang masih terjebak dalam hubungan yang tidak sehat dan tetap menjalani pilihan-pilihan yang menyiksa diri karena merasa sudah mengeluarkan waktu, uang, dan tenaga yang banyak. Sehingga dari situ membuat semuanya “percuma” dan sia-sia dan lebih memilih untuk menghindar atau tetap bertahan, terlepas dari banyaknya kerugian yang dialami.

Berani mengambil langkah pertama 

Dengan mengetahui dan memahami tentang sunk cost fallacy, kita akan lebih mudah mengenali pola yang terjadi dalam hidup kita, terutama dalam hubungan. Apakah hubungan ini merugikan kita? Apa kedua pihak mempunyai tujuan dan perasaan yang sama dengan kita? Selama ini, apa benar jika kita yang selalu mengorbankan banyak tenaga dan effort dalam hubungan itu? Jika demikian, apakah masuk akal untuk bertahan dalam hubungan yang “berat sebelah” ini? Tentu saja tidak.

Oleh karenanya, hubungan yang baik adalah hubungan yang tercipta ketika kedua belah pihak saling berkontribusi kepada satu sama lain dan membuat usaha yang jelas untuk memelihara hubungan yang sehat.

Jika memang tanda-tandanya sudah jelas, lebih baik segera tinggalkan. Prioritaskan diri kita sendiri agar bisa hidup dengan lebih bahagia, tanpa harus terkekang oleh hal-hal yang menyengsarakan kita.

Nama Penulis : Annisa Nur Rahma

Penyunting: Khoirul Atfifudin

Sumber gambar : Detikcom/Palevi