Ingatan terkuatku bukan berada dalam memori, namun dari segala imajinasi yang secara perlahan menjelma seikat kenangan bermuara menjadi satu paduan yang sulit untuk dilupakan. Suasana sore kala itu cukup mampu menguak hal-hal yang ku kira sudah jatuh terpendam dalam geronggongan jiwa. Baunya saja cukup membuat gusar, terlebih ketika aku menjajaki jalanan yang telah meninggalkan sejuta arti penting dalam hidupku yang sudah berkepala dua ini.
Dalam bayanganku kala itu, suara-suara berlalu lalang hilir berganti. Terik mataharinya yang masih setia menerangi tak mampu menghentikan kesibukan para insan. Mengisyaratkan bahwa bagaimanapun engkau hidup, waktu akan terus memburumu. Siluet bayangan itu menghentakkan hatiku, berdesir lembut membenamkan diri dalam pesona alamiah.
Dia datang tepat pada waktunya kami merencanakan temu janji. Jam tanganku menunjukkan tepat pukul dua siang. Sudah beberapa hari aku tidak melihatnya, dan kini ia duduk tepat di depanku. Kami hanya terpisahkan sebuah meja dengan minuman di atasnya yang telah membasahi taplak berwarna biru bermotif bunga mawar merah. Tetes-tetes airnya mengalir melalui celah retak pada meja kayu yang sudah tidak bisa disebut baru itu menandakan bahwa milkshake vanilla yang ku pesan sudah mulai mencair.
Dalam kenanganku, mata yang ku pandang itu selalu menatapku tajam namun lembut. Senyum tipis biasa terukir pada bibir tebalnya. Hidungnya yang mancung telah menjadi daya tarik tersendiri. Bagi siapapun yang bercengkerama dengannya akan segera memusatkan perhatian pada setiap kata yang terlontar dari mulutnya. Dengan setelan kemeja kotak-kotak dan jam tangan merk Alexander Christie warna coklat melingkar di pergelangan tangan kanannya kala itu, aku menyadari dengan segera betapa canggungnya kami duduk berhadapan satu sama lain.
“Aku akan langsung saja,” ujarnya membuka percakapan. “Kita sudah tidak memiliki hubungan,” mimik wajahnya menunjukkan perubahan yang cukup signifikan begitu kalimat itu selesai ia ucapkan. Bola matanya yang dulu selalu fokus ke arahku, kini ia edarkan ke sembarang arah asalkan bukan aku yang ditatap.
Ada jeda yang begitu hening. Aku menunggu kalimat selanjutnya, namun tak kunjung dilontarkan.
“Baiklah. Kalau begitu aku juga tetap pada keputusanku. Kita selesai, dan setelah ini kita tidak akan bertemu lagi,” aku menatapnya dengan tajam, berharap pria berkulit putih di depanku ini bisa menghadapi apa yang seharusnya kami selesaikan sejak dulu.
“Kita masih bisa jadi teman. Lagipula kita ini masih rekan. Kamu partner bisnisku. Mustahil tidak akan bertemu lagi,” elaknya. Kedua matanya kini menatapku dengan intens, mencari-cari kalimat tersembunyi melalui jendela hatiku.
Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan tidak cukup membantu untuk menenangkan gejolak emosi dalam diri ini. Aku mengais memori terkait dengan apa yang telah terjadi diantara kami berdua hingga memutuskan untuk berpisah. Aku dan dia telah menjalin hubungan satu tahun. musim hujan menjadi awal indah perjalanan kisah dua insan yang merajut cerita di muara kasih. Semesta memiliki caranya untuk menipu, menunjukkan seolah kebahagiaan semu kala itu tidak akan pernah berakhir dan akan selalu abadi.
“Kalau kamu sudah yakin kita tidak bisa bersama lagi, kalau kau sudah cukup dengan hubungan kita, tolong biarkan aku pergi dari hidupmu. Aku akan keluar ketika project selanjutnya selesai supaya aku tidak melihatmu dan kau pun tidak melihatku. Bisnis tetap bisa berlanjut dengan atau tanpa aku,” kali ini aku menunduk dan tidak berani menatap matanya. Tidak ada lagi keberanian dalam diriku. Menguap entah kemana. Terbawa angin kah? atau melebur menjadi satu dengan tetesan air gelas di hadapanku?
Dia diam. Tidak mengatakan apapun. Tidak ada respon untuk beberapa waktu yang berjalan begitu lamban. Perlahan, ku tatap kembali kedua matanya. Mata tajam nan lembut itu sudah diselimuti buliran air bening yang siap jatuh. Sklera putih jernihnya kini telah bercampur warna kemerahan. Aku terperangah melihatnya, “kenapa kamu sedih?,” tanyaku spontan yang dengan segera mengutuki diri sendiri karena pertanyaan bodoh itu. Siapa yang tidak sedih dengan perpisahan?
“Tidak,” elaknya sembari membuang muka. Aku menunduk. Ini harus segera diselesaikan, perpisahan yang sudah lama digaungkan harus segera diakhiri.
Namun, kenangan-kenangan yang lalu menerobos begitu kurang ajarnya. Memaksa hipokampus bekerja menggulir cerita-cerita tersimpan dalam memori jangka panjang. Setahun kami berhubungan, namun tidak ada kemajuan. Sifat kami terlalu bertolak belakang. Perbedaan visi dan misi dalam hubungan juga menjadi alasan kami tidak bisa melanjutkan komitmen yang telah dibangun.
Aku memiliki angan-angan untuk menikah, akan tetapi berbeda dengan dia yang masih ingin menikmati masa lajang tanpa harus dibebankan persoalan pernikahan. Selain itu, baik keluargaku maupun keluarganya tidak mendukung hubungan kami karena alasan yang tidak dapat dipahami turut menambah polemik yang telah menjadi bumbu-bumbu tidak sedap jika dicicipi. Meskipun kami saling jatuh cinta, namun lagi-lagi kami tidak cukup yakin dengan pilihan kami berdua untuk bersama. Rintangan yang membentang di depan cukup sulit untuk dihadapi.
“Pergilah, perempuan hina. Wanita egois, drama queen, ribet, tidak peka, bisamu hanya menyakiti orang. Pergi saja sana, sialan!,” hardiknya tiba-tiba.
Aku terperengah mendengar makiannya. Matanya setajam pisau yang siap menusuk apapun. Dan kini ia telah menghujami hatiku dengan mulutnya yang dulu ku kagumi terbiasa berucap manis padaku tapi sekarang bagaikan gonggongan tidak berperasaan.
“Kau tau, perilakumu sekarang tidak menunjukkan kedewasaan! Kau seenaknya bilang pergi dan akan menghilang dari hidupku, bahkan sudah berencana keluar dari bisnis yang telah kita bangun bersama! Sadar tidak, seegois itu dirimu yang hanya mementingkan dirimu sendiri di atas segalanya…”
“Ryan, aku hanya butuh waktu untuk menerima perpisahan ini. Kita pisah baik-baik, bukan? Tapi kamu ingin kita tetap menjalin pertemanan segera setelah putus. Aku tidak bisa. Bukankah kamu yang memintaku untuk berhenti berharap? Bukankah kamu sendiri yang sebelumnya mengatakan kita tidak akan bisa kembali bersama-sama lagi?”
“Itu karena kamu egois. Karena kamu keras kepala. Kamu yang telah merusak hubungan kita! Baiklah, terima kasih sudah mengajakku putus,” ia akan beranjak dari tempat duduknya ketika aku mencoba meraih tangannya.
“Tenang dulu, kenapa kamu tiba-tiba marah,” aku mulai menangis. Sesak di dada memacu rasa sakit yang tidak terbayangkan. Sebagai wanita ku tunjukkan semua kelemahan baik secara karakter maupun emosi. Aku juga mengingat ketika kami masih menjalin ikatan cinta di mana setiap pertengkaran yang terjadi di antara kami selalu diawali oleh aku dan diakhiri oleh dia. Dia lebih banyak mengalah, mengerti, dan tetap mencoba memahami seberapa buruk pun diriku yang tidak cerdas dalam pengendalian diri. Tentu saja aku sangat berterima kasih karena kedewasaannya yang jauh lebih baik daripada aku.
“Aku minta maaf ya,” ucapku perlahan diselingi isakan tangis pelan. Pria yang kuat dan tangguh di depanku kini meneteskan air matanya juga. Enggan membalas ucapanku. Hanyut dalam buaian waktu yang akan segera melenggang pergi. Aku tidak dapat menghindari apa yang harus kulakukan selanjutnya. Perang batin antara logika dengan perasaan telah membawa malapetaka dan menorehkan luka yang dalam dan perih.
Kami tidak ingin berpisah, tapi juga tidak ingin bersama. Kontradiksi dalam kehidupan mengukir kenyataan pahit. Lantas, pilihan seperti apa yang terbaik jika di setiap pilihan tidak terdapat kebahagiaan. Katanya, level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan. Melepaskan cinta, membebaskannya agar dapat terbang lebih jauh, lebih tinggi hingga mencapai tak terbatas. Karena jika memang cinta itu milikmu, dia akan kembali dengan cara yang paling indah.
Dia terlihat sangat terluka, menumpahkan segala rasa yang tersimpan lama dalam hatinya. Aku tidak tahu betapa buruknya aku di dalam hubungan ini. Namun, dia pun tidak tahu pula betapa hancurnya perasaanku kehilangan dirinya. Satu hal yang aku sadari bahwa selama ini yang kami lakukan hanya menyakiti satu sama lain. Biarlah waktu yang akan membawa duka nestapa ini, berganti dengan kebahagiaan-kebahagiaan lain yang sudah menanti.
Kenangan tentang Ryan menghantuiku di musim selanjutnya. Aku ingat saat dia pergi. Betapa aneh melihat punggungnya yang biasa aku lingkarkan lengan pada tubuhnya, kini bahkan tidak mampu hanya sekedar menepuk. Kita menjadi asing.
Benih rasa ingin tahuku telah tertanam; hanya waktu dan kebosanan yang dibutuhkannya untuk tumbuh menuai asa dan cerita lebih indah. Mempersiapkan perjalanan berikutnya dan menyambut kisah selanjutnya.
Penulis: Chandra Septianur Suyuti
Penyunting: Khoirul Atfifudin
Foto: https://pin.it/5WJkHuT