Kampus adalah miniatur negara, segala bentuk kecil kegiatan negara terjadi di kampus, sebut saja pada trias politica. Mahasiswa juga mempunyai struktur pemerintahan seperti halnya negara. Legislatifnya berupa DPM dan eksekutifnya berupa BEM.

Namun kampus sering kali mengedepankan lembaga eksekutif tanpa diimbangi dengan kehadiran lembaga yudikatif. Suatu lembaga yang masih jarang diimplementasikan di kampus, termasuk kampus biru tempat saya menuntut ilmu. Jika lembaga yudikatif tidak ada, lalu bagaimana dengan nasib demokrasi di miniatur negara tersebut.

Rocky Gerung seorang filsuf akademis dan intelektual publik Indonesia dalam kanal youtube-nya yang berjudul “Istana Norak Demokrasi sudah Mati” mengatakan bahwa era yang demokrasi sudah sedang berakhir dan itu keterangan dunia nasional dalam melihat Indonesia, tidak mengherankan bila akhirnya seluruh fasilitas yang disediakan oleh demokrasi yaitu pers, pikiran bebas, ekspresi, akhirnya harus dimusuhi.

Titi Angraeni seorang anggota dewan pembina untuk perkumpulan pemilu dan dan demokrasi (perludem) mengatakan bahwa “The Economist Intelligence Unit (EIU), baru merilis indeks demokrasi global atau dunia, ternyata Indonesia mengalami peningkatan indeks atau skor. Jadi dari sebelumnya di 2020 peringkat 64, di 2021 naik di peringkat 52 atau naik 8 poin. Meski naik ke peringkat 52, Indonesia masih masuk dalam kategori flawed democracy atau demokrasi yang cacat.

Terlebih lagi, baru-baru ini Indonesia sedang ramai dengan pasal kontroversial RUU KUHP yang saat tulisan ini dibuat, pemerintah sudah mengesahkannya.  Pun isi dari undang-undang tersebut dinilai bersifat karet dan memberangus kebebasan berekspresi masyarakat sipil. Saat masih menjadi rancangan, Bintang Emon mengkritisi RKUHP ini, karena menyebut setiap orang bisa merasa tersinggung dengan apapun berdasarkan perasaan personalnya. Dia mengilustrasikan pendapatnya ini dengan satu karakter di video yang merasa tersinggung hanya karena dilihat dengan tatapan tajam oleh orang lain.

Demokrasi idealnya memelihara keberagaman, menjunjung tinggi keadilan dan tidak membelenggu hak-hak manusia sebagai manusia yang berpikir dan punya akal. Demokrasi harus hadir dan siap melindungi hak asasi manusia. Rocky Gerung mengilustrasikannya dengan pendidikan di Francis. Beliau mengatakan bahwa anak SD di Francis diajarkan logical fallacy dan reasoning supaya mereka bisa belajar dan berbantah-bantahan dengan politisi.

Salah satu fallacy itu adalah otoritas yang melangkahi verifikasi. Contohnya adalah hanya karena yang bicara itu tokoh, pemuka, pejabat, ketua himpunan, ketua BEM atau bahkan presiden mahasiswa yang ngomong, (meskipun di kampus saya tidak ada), bukan berarti omongan mereka benar. Karena kebenaran itu bukan karena yang bicara itu penguasa melainkan karena kebenaran itu masuk akal.

Indonesia dari struktur terkecil hingga terbesar hadir menjamin hak-hak manusia, khususnya kebebasan berpendapat, misalnya. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diberlakukan sejak tahun 2008. Ttujuan awalnya dibuat untuk menjamin hak dan kebebasan orang menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi secara bertanggungjawab. Pasal 1 UU No.11 Tahun 2008. Namun dalam perjalanannya justru malah menjamin keTIDAKbebasan berpendapat.

Sebagai contoh Prita bisa disebut sebagai orang pertama yang dijerat UU ITE, karena terjadi hanya satu tahun setelah UU No.11 Tahun 2008 itu diberlakukan. Prita dilaporkan oleh RS Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, karena mengirim surat elektronik atau email yang berisi keluhan atas layanan rumah sakit itu kepada beberapa rekannya. Ketika proses hukum bergulir, Prita sempat ditahan di Lapas Perempuan Tangerang.

Contoh lainnya lagi, dalam laporan Kompas.com-16/02/2021 pada November 2014, Fadli Rahim yang merupakan seorang PNS di Kabupaten Gowa dilaporkan ke polisi karena dianggap menghina dan mencemarkan nama baik Ichsan Yasin Limpo yang kala itu menjabat sebagai Bupati Gowa Sulawesi Selatan.

Awalnya, Fadli membagikan kritikan lewat grup aplikasi pesan instan Line yang berisi tujuh orang di dalamnya. Dalam kritikan tersebut, Fadli mengungkapkan bahwa Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo berlaku otoriter. Dalam memerintah, Fadli mengklaim bahwa Ichsan selalu mengedapankan emosi. Kritik itu rupanya membuat Bupati Gowa marah besar sehingga melaporkan Fadli ke polisi. Alhasil, Fadli dikenakan hukuman penjara selama 19 hari dan terancam dipecat dari posisinya sebagai PNS.

Keadaan ini sungguh sangat meresahkan, seperti yang dikatakan Polybius Cycle, ochlocracy. Suatu bentuk demokrasi yang korup, di mana kita diperintah oleh massa, dalam hal ini, sekelompok “orang yang dipicu”, dengan petisi online sebagai obor dan garpu rumput mereka yang menyala, untuk memburu penyihir yang hanya mengeja ide, dan membawanya ke keadilan.

Sisi Gelap Demokrasi Lembaga Kemahasiswaan di Kampus Biru

Jika dari tadi membahas nasib demokrasi negara, sepertinya tidak adil jika saya tidak membahas nasib demokrasi di kampus biru yang mempunyai tiga kampus dari selatan hingga utara Jogja ini, di mana nasibnya juga tak kalah mengkhawatirkan. Jangankan lembaga yudikatif, presiden mahasiswa pun juga tak ada.

Menilik pada 2021 lalu, lahirlah wajah baru di kampus biru yang bernama Buana Pers. Lembaga Pers Mahasiswa sebagai anak yang baru bisa merangkak ini tampaknya mengalami “kesialan” terlahir di dunia. Bayangkan, baru lahir saja sudah diceramahi yang bukan-bukan, “Buana Pers tolong ya jangan beritakan yang buruk-buruk, beritakan yang baik-baik saja”. Dalam hati saya berucap, mohon maaf, persma itu bukan humas kampus, dan tugas kami adalah menarasikan kenyataan dan mewartakannya.

Cobaan juga tidak berhenti disana rupanya, mahasiswa yang lain pun turut ketakutan jika banyak bicara dengan anak pers mahasiswa. “Jangan banyak bicara sama dia, nanti keburukan kita diberitakan.” “Hati-hati sama Buana Pers, nanti organisasi kita dibicarakan.” Bahkan terkadang langsung menyebut nama, misalnya “jangan bicara sama Rizky nanti dia bikin berita buruk.” Ungkapan ini saya dengar langsung dari salah satu anak Himpunan Mahaiswa Program Studi di kampus tersebut. Why why why. Coki Pardede dan Tretan Muslim tampaknya akan tertawa dengan puncak komedi ini.

Katanya mahasiswa suka kritik pemerintah, tapi ketika dirinya sendiri dikritik juga tidak mau (Memang apapun makannya, minumnya tetap ludah sendiri). Ingat ya kawan, “bunga mawar tidak perlu memproklamirkan dirinya harum, dan bangkai meskipun ditutupi emas, baunya akan tetap tercium”. Jadi kalau memang tidak ada bangkai di dalam organisasi mahasiswamu. Ya jangan takut untuk berdiskusi.

Dahulu kala ketika saya masih semester dua, sebut saja kawanku ini Bung Ngabalilin. Dia tidak henti-hentinya menyuruh saya keluar dari Buana Pers dengan alasan dia mau masuk BEM Psikologi. Dia mengajak saya untuk lebih baik masuk BEM daripada masuk Persma. Katanya, Persma hanya jadi tukang kritik saja. “Ki aku butuh orang seperti kau, orang seperti kau lebih baik menjadi orang yang membuat keputusan, daripada jadi tukang kritik,” ucap Bung Ngabalilin. Sekali lagi saya ucapkan, kalau memang tidak ada bangkai, mengapa harus takut dikritik.

Saya tegaskan kembali lagi, kampus itu adalah miniatur negara. Jika praktik tidak mau dikritik sudah dilakukan semasa mahasiswa, barangkali kurang lebih begitu jadinya jika calon-calon ini duduk di kursi singgasana kekuasaan.

Pun saya kira keistimewaan terakhir yang masih bisa saya rasakan adalah berpendapat, jika ini pun direnggut dari kehidupan saya. Sungguh saya telah mati sebelum malaikat maut sowan kepada saya.

Sebelumnya, perkenalkan saya ini berasal dari jurusan psikologi, berbekal almet psikologi, saya ingin mencoba membanggakan almet ini dengan mengikuti kepanitian Porsmasi (pekan olahraga seni mahasiswa psikologi) yang digelar oleh HMPS Psikologi.

Saya sangat ingat dengan momen wawancara masuk kepanitiaan itu, dan langsung diwawancarai oleh ketuanya langsung. Dia bertanya, “kamu tipe diskusi yang seperti apa?” Saya jawab, “saya tipe orang yang akan memperjuangkan pendapat saya jika itu benar, jika kamu mau aku mengikuti pendapatmu, maka buktikan dengan masuk akal, maka saya akan mengikutimu. Saya tidak ngeyel jika memang ada kebenaran yang lebih benar”.

Sejujurnya itu pertanyaan yang bagus, namun ekspektasi saya terbantahkan. Barangkali saya lupa, apa yang bisa saya ekspektasikan dari ketua yang terpilih dengan lawan kotak kosong. Ya sama saja seperti lawannya. Di kepanitian Porsmasi ini saya jadi tahu bagaimana kepemimpinan ketua HMPS Psikologi ini, ternyata dia hanya bisa berkata-kata sopan saja dan mengumpulkan kata-kata bijak untuk menceramahi anggotanya. Saya tidak butuh kata-kata bijaknya tapi yang saya butuh itu pemikiran merancang ide dan memecahkan masalah. Tapi ternyata harapan saya terlalu tinggi.

Jangankan memecahkan masalah, dikritik saja emosi yang didahulukan. Begini pak ketua HMPS Psikologi yang saya hormati, kalau ada kritik dan saran tuh didengarkan, jika bagus ambil tapi jika tidak relevan silakan katakan saja. Mengutip perkataan Rocky Gerung, “sopan itu bahasa tubuh, kalau bahasa pikiran disopan santunkan itu namanya kemunafikan.”

Sirkel sama organisasi itu beda cuy. Sirkel ya sirkel, organisasi ya organisasi. Kenapa saya mengatakan begitu? Karena ternyata HMPS ini mengisi anggotanya dengan kawannya sendiri. Nepotisme sejak lahir rupanya.

Kemudian saya jadi bertanya-tanya, ada penyaringan tidak untuk syarat ketentuan menjadi ketua dan anggota, atau langsung nepotisme saja, terlepas dari mampu atau tidaknya. Jika kemampuan dan pondasi organisasinya seperti itu, maka jangan berharap lebih suara anda akan didengar. Bahkan semenjak saya mengikuti kepanitiaan Porsmasi yang digelar HMPS itu, saya jadi muak mendengar kata “ATASAN”. Begitu sulitnya saya menyampaikan ide di sana, dilempar-lempar terus seperti pemerintah, pemerintah “wakanda” maksudnya.

Maka tidak heran pada rapat aliansi BEM kampus biru ini ada kritik yang berbunyi, “pembentukan BEM univ ini suara mahasiswa atau suara LK? Kenapa LK tidak menyebarluaskan informasi ini”. Kritik yang disampaikan UKM Mahapala itu sangat masuk akal. Lama-lama demokrasi kampus biru ini jadi mirip DPR wakanda, DPR ini sebenarnya suara rakyat atau suara partai. Tidak salah dulu Gusdur ingin membubarkan DPR.

Selama saya berdinamika di kegiatan yang diadakan HMPS Psikologi itu, saya jadi semakin yakin, penyaringan macam apa yang dilakukan untuk masuk HMPS ini. Ada kejadian yang membuat saya tidak enak hati kepada juri musikalisasi puisi. Panitia ini meminta kepada saya untuk mencarikan juri yang kredibel dan panitia sanggup membayarnya. Kulaksanakan keinginanan itu, namun ternyata panitia ini hanya sanggup membayar 50k. Sungguh brengsek tidak manusiawi membayar seseorang yang kredibel dengan seenaknya, boy, boy. Kalau emang gak sanggup bayar ya bilang, biar saya bisa “ngemis” dari awal.

Kritik pun kulayangkan atas tindakan panitia yang tolol tidak menghargai jerih payah seseorang terkait  fee. Saya tegaskan lagi, apa yang kuyakini itu benar, maka akan kuperjuangkan sampai titik darah penghabisan. “Gila udah bijak belum seperti ketua HMPS psikologi”. Masalahnya ketika kritik terkait fee ini saya lontarkan, HMPS tidak memberikan jawaban yang masuk akal, katanya udah tertulis diproposalnya segitu, ada pula yang menjawab tidak ada dana. Omong kosong semua!

Proposal itu bukan kitab suci yang tidak bisa direvisi. Dan ngomong-ngomong alasan tidak punya dana, saya masih heran kok panitia bisa-bisanya buang duit 50 k untuk game nendang bola ke tiang gawang, nilainya sama dengan fee juri dan best player futsal. Ah entah dimana akal sehatnya, hanya kata dungu yang mungkin dapat merepresentasikan keputusan tolol tidak relevan tersebut. Katanya tidak ada dana tapi kok buang-buang duit.

Begini saja kawan-kawan, saya beritahu respon yang bagus jika sedang dikritik. Pertama dahulukan logika, identifikasi argumen, dan musahabah diri. Jika kritik itu benar ya akui saja, namun jika kritik itu salah, berikan alasan yang masuk akal. Kalau memang tidak becus ya silakan turun jabatan.

Dan pesan saya untuk seluruh elemen kampus biru khususnya sesama mahasiswa, pers itu hadir sebagai pilar demokrasi yang keempat. Hadir melengkapi trias politica. Tugas pers adalah mewartakan, menarasikan kenyataan, dan merapalkan kebenaran. Jika memang tidak mau dikritik pergi saja ke Korut. Kritik itu kan untuk membangun, dan jika kritik yang disampaikan itu benar ya akui saja, tidak perlu beralasan. Jika diskusi yang didahulukan emosi, paling-paling saya hanya akan berkata “Anjing yang menggonggong memang sulit dihentikan”. Tabik!

Penulis: Rizky Fajar NA

Penyunting: Khoirul Atfifudin