Pulau Kemaro merupakan salah satu daya tarik wisata yang ada di kota Palembang. Letaknya yang hanya 6 kilometer dari Jembatan Ampera memberikan kekhasan tersendiri. Luas Pulau Kemaro ini sekitar ±79 Ha dengan ketinggian 5 mdpl. Pulau Kemaro identik dengan kota Tiongkok dan masyarakat Tionghoa serta adat istiadat dan kehidupan asli masyarakat Palembang. Daya tarik wisata sejarah yang ada di pulau Kemaro berupa adanya peninggalan-peninggalan sejarah antara lain, Pagoda berlantai 9, Makan Putri Sriwijaya, Klenteng Hok Tjing Rio, Kuil Buddha, pertunjukan kesenian serta ritual keagaman khususnya umat Tridharma.

Legenda pulau Kemaro dimulai sejak Kerajaan Sriwijaya yang sangat erat kaitannya dengan hubungan Siti Fatimah dari raja kerajaan tersebut dan pemuda dari kerajaan Tiongkok yang bernama Tan Bun An. Kisah mereka dimulai saat Tan Bun An datang berlayar dari Tiongkok ke Palembang dengan maksud berdagang. Demi mendapatkan izin untuk berdagang, Tan Bun An pergi menghadap raja dan ia diberikan izin dengan syarat memberikan 20% setiap bulan dari hasil dagangnya kepada kerajaan.

Tan Bun akhirnya mengiyakan apa yang dikatakan oleh raja. Ia pun akhirnya bergegas untuk menjalankan perdagangannya di Sriwijaya. Tanpa di sadari hasil pedagangannya sangat banyak mendapatkan keuntungan. Sesuai dengan syarat yang diberikan raja, Tan Bun datang ke kerajaan untuk memberikan 20% hasi dagangnya. Maksud dan tujuan Tan Bun tidak hanya membayar pajak saja, namun ia juga bermaksud untuk meminang putri raja. Sang raja sepakat akan hal itu.

Namun mengingat bahwa hubungan yang dikehendaki adalah hubungan lintas bangsa maka raja memberikan syarat lagi kepada Tan Bun An di mana ia harus memberikan sembilan guci berisi emas. Tan Bun menyangupi syarat tersebut. Ia segera mengirim surat kepada orang tuanya di Tiongkok bahwa ia akan segera menikah dan memberitahukan syarat yang harus dipenuhi.

Orang tua Tan Bun menerima surat tersebut dan memberikan balasan disertai dengan mengirim sembilan guci berisi emas. Singkat cerita, kapal dari kerajaan Tan Bun yang membawa guci berisi emas pun tiba.  Guci itu ditutup dengan sayuran sawi yang diasinkan dan di simpan di tempat rahasia di dalam kapal dengan maksud agar terhindar dari perampokan.  Tanpa berlama-lama Tan Bun meminta kepada pengawal yang mengatarkan guci tersebut untuk segera mengantar Tan Bun ke tempat di mana guci itu berada.  Namun betapa terkejutnya Tan Bun melihat gucinya justru berisi sayuran berbau. Ia pun lantas memutuskan untuk membuang guci tersebut ke Sungai Musi.

Saat guci terakhir akan dibuang Tan Bun tersandung dan guci tersebut pun pecah, lalu ia menyadari bahwa emas ada di bawah sayuran tersebut. Tan Bun mendatangi pengawal dan mengajaknya untuk mengambil kembali guci yang telah ia buang. Sang putri yang telah tidak sabar menunggu sang pujaan hati, bermaksud  menyusul Tan Bun dengan maksud ikut menyelam ke dalam Sungai Musi.

Putri Siti Fatimah akhirnya meminta dayang istana untuk menunggunya dan berpesan jika ia tak kunjung kembali ke permukaan dan dayang lihat ada gundukan tanah yang justru muncul maka itu adalah makamku. Dayang hanya bisa mengiyakan dan mununggu. Hari sudah mulai semakin sore tetapi putri tidak kunjung muncul ke permukaan. Tiba-tiba dayang melihat gundukan tanah yang justru timbul dari dalam Musi dan menandakan putri telah meninggal begitu juga dengan Tan Bun.

Menurut cerita yang beredar di masyarakat, gundukan tanah tersebut lama kelamaan menjadi sebuah pulau. Masyarakat di sekitar menyebutnya dengan pulau Kemaro yang dalam bahasa Indonesia adalah pulau Kemarau. Asal dinamakan pulau Kemaro ini lantaran tempat tersebut tidak pernah tergenang air atau kebanjiran walaupun lokasinya di dekat sungai Musi. Pun di dekat Klenteng Hok Cheng Bio, Pulau Kemaro kisah antara Tan Bun dengan Putri Siti Fatimah  terukir ke dalam sebuah prasasti porselen.

 

Penulis: Theresia Rut Anggelang Ua

Editor: Khoirul Atfifudin

Foto: https://id.pinterest.com/pin/345018021431138923/