Judul: Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya | Penulis: Puthut EA | Ilustrator: Gindring Wasted | Penerbit: Shira Media, Yogjakarta | Cetakan: 2019 | Tebal: vi + 106 halaman | ISBN: 978-602-5868-91-7

Sebuah buku berjudul Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya merupakan hasil persetubuhan antara karya sastra dengan seni ilustrasi. Penulis terkenal Puthut EA berkolaborasi dengan ilustrator jalanan Gindring Wasted yang pada akhirnya menghasilkan novela yang cukup apik dan mengesankan.

Bagaimana tidak? Pria yang lahir pada 28 Maret 1977 di Rembang, Jawa Tengah itu menulis sebuah cerita fiksi yang memuat realita kehidupan dengan bahasa khas tempat penulis dilahirkan, bahasa pesisiran. Tidak heran apabila di dalam novela itu terdapat bahasa yang terkesan vulgar, berani, namun cukup ringan.

Melalui gaya bahasa tersebut, penulis bisa mengemas berbagai pesan yang diselipkan di dalam alur ceritanya. Pun ditambah dengan keberhasilan Gindring Wasted yang mengimbangi dengan ilustrasi yang dibuatnya. Ada visualisasi yang membumbui pembaca untuk terus mengikuti setiap tahapan alurnya. Dengan kata lain, adanya ilustrasi tersebut membuat pembaca tidak mudah merasa jenuh.

Dari cover berwarna hitam, font tulisan, hingga ilustrasi buku mengisyaratkan bahwa novela ini menceritakan tentang betapa gelap dan menyeramkannya kehidupan. Sedangkan pada bagian belakang covernya dituliskan bahwa buku ini merupakan bacaan untuk kalangan dewasa. Lantaran terdapat konten yang berbahaya (kata-kata kasar, cerita yang keras dan bertajuk dewasa).

Novela ini memiliki 13 sub cerita yang sebagian besar sangat relevan dalam kehidupan masyarakat, baik masyarakat biasa hingga para pejabat. Puthut EA berusaha menguak realita kehidupan di masyarakat kita melalui tokoh Aku.

Tokoh Aku mengawali cerita pahitnya sejak dia dilahirkan di atas becak yang dikemudikan ayahnya hingga sang ayah meninggal akibat serangan jantung saat mengayuh becak tersebut. Lalu dilanjutkan dengan masa kecil tokoh Aku yang sangat berbeda dengan anak kecil pada umumnya.

Di mana sejak kecil tokoh Aku sudah sering mengalami kekerasan, bahkan oleh keluarganya sendiri. Namun dia merasa bahwa kekerasan, darah dan penderitaan tersebut merupakan temannya. Bukan hal yang menyiksanya.

Konflik itu tidak hanya terjadi di lingkungan keluarganya, bahkan terus berlanjut hingga ke lingkungan sekolah. Tokoh Aku acap kali berpindah-pindah sekolah karena banyak sekolah yang mengeluarkannya. Dia pun tidak tahu alasan mengapa dirinya dikeluarkan dari sekolah. Dia hanya merasa bahwa dia bukan anak nakal, dia hanya pengecut. Dia hanya tidak mengerti makna kehidupannya.

Dari sini, penggambaran tentang hegemoni sosial kental mendominasi. Menurut Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77-78) hegemoni adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu. Tentu saja pemisahan hak menuntut ilmu bagi anak-anak yang pintar dan tidak pintar merupakan kasus hegemoni sosial dalam lingkungan sekolah.

Pun saya kaitkan dengan cerita Aku yang sering dikeluarkan dari berbagai sekolah. Di mana banyak sekolah yang hanya memilih murid-murid unggul namun mengesampingkan-menyingkirkan murid-murid yang dianggap bodoh atau nakal. Padahal, seharusnya sekolah memberikan pendidikan yang setara kepada setiap murid, karena tujuan utama sekolah adalah untuk mendidik.

Bahkan tidak berhenti sampai di tingkat sekolah saja. Pada masa remajanya, tokoh Aku menemui banyak orang baru dengan perantara sosok bernama Truwelu. Mulai dari intelektual, masyarakat, hingga kalangan agamis. Namun tidak ada satupun yang membuat tokoh Aku merasa tertarik. Sebab dia merasa bahwa mereka semua sekedar memakai topengnya masing-masing.

Dari kaum intelektual, Aku bertemu dengan sosok bernama Raung yang ternyata memiliki sisi gelap karena suka bermain wanita. Lalu Karmali yang katanya seorang aktivis, budayawan, penyair, pun dinilai alim dan cerdas ternyata suka menjilat para pejabat dan bermain wanita dibelakang keluarganya. Tokoh Aku merasa sangat mual melihat Karmali dan berkata “Aku harap anak dan istrinya tahu, bahwa bajingan seperti dia tak ada gunanya hidup”.

Begitu pula dengan Basur dan Suwan, teman Karmali yang gemar bersilat lidah. Mereka adalah tokoh penjilat negeri ini. Lain lagi dengan Pak Sabar yang digambarkan sebagai seorang takmir masjid yang ternyata adalah buronan. Terakhir ada juga tokoh bernama Berko, Koh Yap, hingga Mas Wirog yang semuanya itu mengisahkan betapa banyak topeng yang sebenarnya manusia kini sedang pakai.

Walhasil Novela ini sudah seharusnya patut kita apresiasi. Karena tidak hanya sekedar bacaan belaka, namun juga sebuah ekspresi yang mungkin ingin kita sampaikan kepada rakyat, pejabat maupun pemerintah. Karya ini juga termasuk salah satu sarana kita untuk mampu mengetahui realita yang saat ini sedang terjadi di sekitar kita. Meskipun ada juga yang menganggap banyak kata provokasi didalamnya. Namun menurut saya itulah bagian dari realita kehidupan yang seharusnya kita ketahui.

Penulis: Nanda Kesya Pramesty
Editor: Khoirul Atfifudin