Sudah menjadi rahasia umum bahwa masjid dapat dengan mudah kita temukan di Indonesia. Tak jarang rumah ibadah ini tersebar secara merata di berbagai pelosok nusantara. Sangking banyaknya, acap kali kita mendapati dua bangunan masjid yang jaraknya relatif berdekatan. Hal tersebut bisa jadi karena faktor penduduk Indonesia yang mayoritas adalah muslim.

Dari berbagai banyaknya bangunan masjid, tentunya gaya yang mewarnainya pun kian beragam. Ada yang masih bercorak tradisional, ada pula yang sudah condong bernafaskan modern.

Dan, sudah menjadi rahasia umum bahwa di era dewasa ini masyarakat mulai berlomba-lomba untuk membangun masjid kearah yang lebih modern. Misalnya dengan mengunakan fasilitas keramik marmer, berlampu kristal, keamanan CCTV, berkubah megah, berhawa AC, dan fasilitas glamor lainnya.

Rekonstruksi masjid yang semula tradisional menjadi modern tentunya memerlukan jumlah rupiah yang cukup banyak. Sumber pendanaanya pun sudah pasti berasal dari masyarakat umum ataupun donatur yang sudi berderma dengan menyumbangkan rupiah mereka.

Alih-alih ketika dikaitkan dengan masa pemilihan umum (pemilu), sedikit-banyak pihak yang mengatasnamakan partai politik (parpol) juga turut menyumbang pembangunan masjid. Walaupun ada ironis bahwa masyarakat sekitar malah lebih sering teringat kepada pihak penyumbang: parpol, sampai-sampai lupa esensi utama berupa Dzat Sang Maha Pencipta.

Ironis lainnya lagi adalah tentang masjid yang bergaya megah, tetapi jama’ahnya dapat terhitung dengan mudah. Fenomena tersebut menjadikan ingatan saya tertuju kepada perkataan Gus Miftah sewaktu hadir di pengajiannya. Beliau sempat berkata, “Banyak orang yang bisa membangun bangunan masjid, tapi hanya sedikit orang yang bisa membangun isi masjid.”

Pun pembangunan masjid tersebut acap kali membuahkan persoalan melalui sarana-prasarananya. Semisal masjid dengan sarana kotak amal berwarna transparan. Di mana ketika ada seorang jama’ah yang bersedekah, jama’ah lainnya secara sengaja ataupun tidak sengaja akan melihat nominal uang yang dimasukan. Bukankah hal tersebut dapat memicu sifat kesombongan? Bukankah disparitas satu dengan yang lainya akan terlihat lebihkentara?

Saya tidak tau persis apa maksud-tujuan pembuatan kotak amal yang warnanya transapan itu. Tetapi semisal beniat agar para jama’ah terpacu untuk menyumbangnya, saya memiliki saran/masukan agar kotak amal masjid dibuat berbentuk ‘keranda’ berwarna hijau. Pertimbangannya agar orang-orang teringat akan kematiannya, dan (mungkin) dengan antusias memasukan segala isi dompetnya kedalam kotak amal tersebut.

Ada juga fenomena persoalan masjid yang marak kita jumpai. Yaitu masjid dengan pintu yang selalu terkunci diluar jadwal shalat lima waktu. Tentunya hal ini membuat kesal orang-orang (termasuk saya) yang ingin shalat di dalam masjid tersebut. Padahal sudah selayaknya jika masjid diperuntukan kepada masyarakat luas. Sebab mereka juga memiliki kebutuhan untuk shalat di dalamnya.

***

Masyarakat sekitar juga harus legowo dengan memberikan izin agar masjid menjadi ruang terbuka. Dan asumsi yang mengatakan jika di dalam masjid tidak diperbolehkan untuk membahas hal-hal duniawi harus direfleksikan ulang. Lantaran kegunaan masjid bukan hanya untuk ritual yang arahnya vertikal (Tuhan): sholat dan dzikir saja. Pun harus ada keseimbangan kepada hal-hal yang arahnya horizontal: manusia.

Melalui ranah horizontal ini, masjid sudah seperlunya menjadi tempat untuk mengelar berbagai macam forum kajian ataupun diskusi, baik terhadap persoalan sekitar, isu-isu terkini ataupun tema-tema besar lainnya. Tentunya sesuai kadar dan konteks yang tepat.

Terakhir, anggapan bahwa masjid dapat menjadi tolak ukur keimanan dan kesalehan juga harus direnungi. Sebab, banyak orang yang memiliki asumsi bahwa seorang yang sering pergi ke masjid bisa dilabeli sebagai orang yang saleh dan beramal bagus. Padahal kenyataanya tidak demikian. Penilaian kesalehan dan keimanan seorang muslim tidak hanya dilihat dari rutinitasnya pergi ke masjid. Sebab hanya Allah SWT. yang memiliki hak preogatif dalam menilai itu semua.

Namun ketika tolak ukurnya diganti sebagai acuan dalam melihat kedisplinan, saya pun cukup mengamininya. Di mana orang islam yang rajin adalah orang yang tepat waktu dalam melaksanakan sholat berjama’ah didalam masjid.

Penulis: Khoirul Atfifudin