Pada tanggal 21 April 2021 lalu, kita memperingati hari lahirnya Raden Adjeng Kartini. Singkatnya beliau lahir di Jepara, pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal diumur ke-25 tahun pada tanggal 17 September 1904.
Raden Adjeng Kartini akrab kita sebut dengan nama Ibu Kita Kartini, merupakan salah seorang wanita yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi pahlawan nasional. Ketika mendengar gelar pahlawan yang dimiliki R.A Kartini, secara tidak langsung kita bisa menarik benang merahnya bahwa beliau merupakan sosok yang berpengaruh pada zamannya.
Sayangnya, hanya sedikit dari kita yang mendengar gelar kepahlawanan tersebut tanpa mencoba menyelami pemikiran-pemikiran R.A Kartini, yang mana semasa hidupnya disibukan dengan menulis dan membaca. Beliau banyak menulis surat dalam bahasa Belanda yang ditujukan kepada para sahabat korespondensinya yang kemudian hari diterjemahakan menjadi bahasa Indonesia lalu dibukukan. Melalui tulisan-tulisan tersebut para pembaca dapat berasumsi bahwa R.A Kartini merupakan sosok yang kritis, berani, cerdas dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi yang hidup pada budaya patriarki, foedalisme, dan kolonialisme.
Salah satu surat yang saya suka dari beliau adalah tulisan bernada satire yang ditujukan kepada Ny. Abendanon pada Agustus 1900 yang berbunyi:
“Seorang gadis Jawa adalah sebutir permata, pendiam, tak bergerak-gerak seperti boneka kayu; bicara hanya bila benar-benar perlu dengan suara berbisik, sampai semut pun tak sanggup mendengarnya; berjalan setindak demi setindak seperti siput; tertawa halus tanpa suara, tanpa membuka bibir; sungguh buruk nian kalau giginya tampak seperti luwak”
R.A Kartini tidak hanya terpaku kepada perjuangan emansipasi perempuan saja. Oleh karena sikap kritis dan kepekaan sosialnya yang tinggi, beliau melontarkan kritikan terhadap agama serta budaya barat dengan tulisan yang berapi-api. Salah satu contoh gugatan R.A Kartini terhadap agama yang sampai hari ini masih sangat relevan adalah:
“Agama memang menjauhkan kita dari dosa, Namun berapa banyak dosa yang lakukan atas nama agama.”
Tulisan-tulisan beliau tidak hanya cukup sampai kepada kritikan dan gugatan. Dengan semangat dan optimisme yang tinggi, R.A Kartini juga memberikan solusi alternatif yang berupa pendidikan, yang mana pada era tersebut beliau mendirikan sekolah yang kemudian hari banyak menginspirasi sekolah-sekolah lain. Hal itu dapat kita lihat melalui suratnya yang dituliskan kepada Nona Van Kool yang berbunyi:
“O, saya ingin sekali menuntun anak-anak itu, membentuk wataknya, mengembangkan otaknya yang muda, membina mereka menjadi wanita-wanita dari hari depan, supaya mereka kelak dapat meneruskan segala yang baik itu. Bagi masyarakat kita pasti akan membahagiakan, bilamana wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik.”
Oleh sebab itu, dari sedikit surat-surat beliau diatas, dapat disimpulkan bahwa R.A Kartini bukanlah ibu-ibu tua yang kuno karena memakai konde dan kebaya, bukan pula sosok yang lemah gemulai karena perempuan jawa, serta tidak selalu kalem karena foto-fotonya. Tetapi beliau adalah api yang harus ditanam di dalam jiwa-jiwa rakyat Indonesia baik pria maupun wanita. Akhir kata dari saya sebagai ucapan spesial di bulan Kartini bahwa:
“Kartini adalah penggerak, Kartini adalah pendobrak, Kartini adalah berani, mari kita tunggu kartini-kartini muda terlahir di hari ini”
*Catatan; Tulisan ini tidak memiliki tendensi untuk mengkultuskan R.A Kartini, Penulis hanya mencoba menghormati sosok Ibu Kita Kartini sebagai salah satu tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan dan pendidikan di Indonesia.
Penulis : Khoirul Atfifudin
Editor : Cici Jusnia