Di Indonesia Hak Kemerdekaan Berpendapat seolah-olah menjadi hal yang rancu untuk dibicarakan, pasalnya antara hukum yang tertulis dengan realita kehidupan sehari-hari, terkadang bertentangan satu sama lain, padahal sudah jelas bahwa kemerdekaan berpendapat diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” 

Namun ketika ada orang yang memiliki argumen berupa kritikan tajam atau hanya menyampaikan aspirasi saja, orang tersebut dapat dilabeli sebagai sosok yang subversif atau malah makar.

Sebagai contoh kecilnya, ketika para aktivis, akademisi, mahasiswa, pelajar, jurnalis, dan lainnya mengadakan aksi turun ke jalan pada tahun 2019 dan 2020 lalu diberbagai kota, mereka harus berhadapan dengan pihak aparat atau mungkin ormas yang siap untuk menghalangi aspirasi yang mereka tuntut. Sialnya banyak dari mereka yang ditangkap, diindimidasi serta tidak mendapat hak peradilan yang cukup.

Ditambah lagi, saat ini ada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),  yang keberadaannya dirasa sangat mengancam hak kemerdekaan dalam berpendapat, khususnya dalam ranah bersosial media, yang mana menurut beberapa ahli, bahwa undang-undang yang semula hanya mengatur transaksi dalam dunia digital, kini memiliki tendensi kearah pembungkaman suara.

UU ITE tersebut dianggap memiliki polemik yang cukup serius, pasalnya sudah ada banyak korban yang terjerat Undang-undang ini, yang mana orientasinya kearah “pencemaran nama baik”. Dilansir dari kompas.com,  semenjak Undang-undang ini disahkan pada tahun 2008, sudah ada 6 korban yang terjerat kedalam pasal yang dapat dikatakan karet, diantaranya adalah:

  1. Prita Mulyasari
  2. Muhamad Arsyad
  3. Ervani Handayani
  4. Florence Sihombing
  5. Fadli Rahim
  6. Baiq Nuril Maknun

Oleh karenanya, ketika kita melihat atau mendengar korban dari kasus UU ITE, seolah undang-undang tersebut akan menjadi momok yang cukup menakutkan bagi kita dalam ranah bermedia sosial, dikarenakan terdapat pasal-pasal karet yang siap menjerat kapan saja dan dimana saja, ditambah kurangnya edukasi dan komunikasi di berbagai kalangan oleh pihak yang memiliki wewenang terkait Undang-undang tersebut.

Penulis: Khoirul Atfifudin